Dasar pemikiran Morozov dalam buku ini adalah ketidak-percayaan atas keyakinan banyak pihak, mulai dari pemimpin dunia hingga para blogger, bahwa Internet adalah agen pembebasan (cyber-utopian)
Judul: The Net Delusion
Sub Judul: How not to liberate the world
Penulis: Evgeny Morozov
Tebal Buku: 425
Penerbit: Penguin Books
Tahun: 2011
Berbeda dengan buku-buku yang menuliskan tentang berbagai kemudahan, ketelitian, kecepatan dan kenyamanan hidup yang dijanjikan bila bergabung dalam dunia maya via Internet (lihat http://www.pedomannews.com/pilkada-dki-2012/umum/21633-mobile-wave-how-mobile-intelligence-will-change-everything ), maka dalam buku ini justru menunjukkan sisi gelap internet, khususnya dalam penggunaannya untuk tujuan politik pembebasan.
Andrew Sullivan, dalam tulisannya di The Atlantic, “The Revolution Will Be Twittered”, begitu antusias dan meyakini bahwa ketika media cetak dan media electronic telah dibungkam, maka sosial media (Facebook, Twitter, blogs) telah menjadi alternatif alat pembebasan melawan authoritarian, seperti yang di tunjukkan dalam demonstrasi di Tehran, Iran, Juni 2009, saat menentang kekuasaan Ali Khamenei dan Ahmadinejad dan fenomena Arab Spring sesudahnya. Hal yang sama kemudian menyebar diberbagai media cetak/elektronik dunia tentang pentingnya peran sosial media untuk pembebasan. Bahkan seorang deputi penasihat keamanan Presiden George W. Bush sampai merasa perlu untuk mengkampanyekan pentingnya Twitter masuk dalam nominasi pemenang Nobel Perdamaian dengan alasan “tanpa Twitter, bangsa Iran tidak akan merasa berdaya dan percaya diri untuk menuntut kebebasan dan demokrasi”.
Menteri Luar Negeri AS, Hilary Clinton dalam pidatonya tentang Internet Freedom di Newseum, Washington DC, Januari 2010 mengatakan bahwa kebebasan berinternet sangatlah fundamental seperti halnya kebebasan berbicara itu sendiri. Ibarat suatu kota abad 21, maka dalam dunia mayapun, nilai-nilai universal, seperti kebebasan, transparansi dan kebebasan berekspresi, perlu tetap dihormati dan dipertahankan oleh pemerintah dimanapun. “Kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara online adalah apa yang saya sebut sebagai kebebasan untuk saling terhubung”, kata Hilarry Clinton. Juga mengutip ucapan Presiden Barrack Obama bahwa “the more freely information flows, the stronger societies become”. Akses terhadap informasi akan membantu masyarakat untuk dapat memastikan akuntabilitas pemerintahan, merangsang munculnya ide-ide dan kreatifitas baru serta menstimulasi tumbuhnya kewirausahaan.
Hilary Clinton pasti sangat sulit mempertahankan kebenaran pidatonya setelah terbukti bahwa AS telah melakukan intervensi ke berbagai negara lain melalui dunia maya yang dilakukan oleh Snowden beberapa waktu yang lalu.
Bertolakbelakang dengan media barat, People’s Daily, milik Partai Komunis China, berpendapat bahwa kekacauan setelah pemilu di Iran karena perang online yang dilancarkan oleh AS. Pendapat semacam ini juga muncul di Xinhua News (China), Moldova dan televisi Rusia, NTV. Bahkan ini terbukti, menurut Morozov, hanya terdaftar sebanyak 19,235 akun Twitter di Iran (0.027% dari populasi) pada saat itu.
Bahkan lebih buruk lagi adalah laporan Moeed Ahmad, direktur Al-Jazeera, yang menyatakan bahwa hanya 60 akun Twitter yang aktif di Teheran ketika pihak penguasa Iran memberangus jaringan komunikasi online.
Globalisasi saat ini berada dalam kondisi terburuknya, setidaknya demikianlah kesimpulan tentang akibat Twitter di Iran yang disampaikan diplomat AS di Washington ke perusahaan Amerika di San Fransisco. Alih-alih menemukan cara yang baik untuk memantabkan hubungan jangka-panjang dengan para blogger di Iran dan menggunakan hasilnya untuk perubahan sosial, budaya dan bahkan politik; kebijakan politik luar negeri AS malah justru menyebabkan mayarakat Iran berada pada posisi yang berbahaya. Para demonstran banyak ditangkap dan dipenjarakan, bahkan mereka yang sebelumnya mendapatkan bantuan pendidikan/pelatihan Internet dari AS selama masa pemilu, tidak dapat pulang ke rumah karena terus diawasi segala akitifitasnya. Sedikitnya lima orang ‘terperangkap’ di Eropa. Revolusi Twitter Iran telah menuai dampak buruk globalisasi. Para penguasa autoritarian yang sebelumnya bersifat ambigu terhadap Internet, malah justru mengambil sikap semakin keras menerapkan aturan-aturan pemberangusan.
Ketika nasib demokrasi Iran bergantung pada kemurahan hati Silicon Valley, yang sepertinya tidak cukup peduli dengan berbagai masalah geopolitik dunia, maka AS tidak punya lagi pilihan lain, selain intervensi. Bila ini terjadi, maka sangat tidak bisa dimaafkan bila sampai terjadi intervensi dunia maya ke urusan dalam negeri pihak lain, sementara para pengambil kebijakan negara- negara barat pada umumnya masih bermimpi tentang demokrasi.
Dasar pemikiran Morozov dalam buku ini adalah ketidak-percayaan atas keyakinan banyak pihak, mulai dari pemimpin dunia hingga para blogger, bahwa Internet adalah agen pembebasan (cyber-utopian), yang bermuara pada anggapan lebih lanjut bahwa bila dana besar digelontorkan di negara-negara authoritarian untuk kemudahan akses internet bagi rakyatnya, maka demokrasi akan mudah tercapai karena adanya kebebasan berpendapat, berpolitik dan mengumpulkan massa. Logika yang juga ditentang oleh Morozov adalah bahwa internet sebagai piranti penting untuk pembebebasan ini oleh banyak pihak, disamakan dengan fenomena ‘samizdat’, yaitu penyebaran banyak pamflet kecil di Jerman Timur sebelum runtuhnya Tembok Berlin.
Ada dua kelompok keyakinan yang banyak dianut pengguna internet di dunia tentang hubungan antara internet dan perubahan masyarakat, yaitu:
- Cyber-utopianism adalah keyakinan yang naif bahwa komunikasi online bersifat emanspatoris, dan penolakan fenomena terjadinya dampak sosial negatif yang disebabkan oleh internet. Menurut Mozorov, tidak banyak sebetulnya cyber-utopist, namun banyak hal dalam kebijakan luar negeri AS m didasarkan pada keyakinan ini
- Internet centrism adalah keyakinan berlebihan bahwa komunikasi internet mampu merubah kondisi masyarakat sekitar.
Kedua keyakinan inilah sebetulnya yang dibantah oleh Morozov dalam The Net Delusion, dengan melakukan berbagai penelitian terhadap praktek penggunaan internet di negara-negara authoritarian di Asia Tenggara, China, Timur Tengah Afrika, Rusia dan Amerika Latin; dan semuanya disajikan dalam buku ini.
Morozof menunjukkan dalam bukunya bahwa di dunia ini Internet banyak digunakan untuk keperluan:
- hiburan,
- sensor,
- propaganda oleh pemerintah atau individu yang anti-Barat
- mengawasi para pemberontak/oposisi.
Hal penting yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa:
- Internet tidak berada dalam ruang hampa, melainkan berada dalam ruang politik yang responsif terhadap semua fenomena Internet
- Persepsi pemerintah terhadap kekuatan Internet sangat dipengaruhi latarbelakang historis, kebudayaan dan ideologi sehingga respon dan kebijakan yang diambilpun juga akan bias
- banyak hal yang dilakukan pemerintah AS di dunia maya sudah kontra-produktif.
Dalam bab tentang Sensor, Morozov menceritakan kasus yang terjadi di Arab Saudi sebagai salah satu contoh bukti bahwa internet di negara authoritarian tidak akan berfungsi sebagai alat yang membebaskan. Tahun 2005, otoritas kurikulum ditingkat pendidikan sebelum universitas hanya mengijinkan pelajaran filsafat Islam dan melarang filsafat Barat. Keinginan besar sebagian masyarakat Arab Saudi untuk mempelajari filsafat menyebabkan seorang bangsa Arab yang sedang belajar di AS membuat forum diskusi di internet, Tomaar, untuk berbagi informasi tentang filsafat dan berbagai isu Timur Tengah yang sedang hangat. Dengan cepat sekali situs ini berkembang jumlah penggunanya hingga l2.000 pengguna aktif dan rata-rata 1.000 posting per hari.
Mengingat tidak mungkin menghapus informasi Tomaar dan terinspirasi pemerintah China yang banyak melakukan sensor terhadap para pengguna internet di negerinya, pemerintah Arab Saudi melakukan proses blokir ke ISP pengguna yang bermaksud untuk akses ke URL Tomaar. Blokir ini bisa ditembus melalui jalan ‘melingkar’ via komputer ber ISP lain untuk menembus URL Tomaar. Akhirnya pihak otoritas internet Arab Saudi melakukan serangan DDoS ke Tomaar yang berakibat ditutupnya situs ini oleh penanggungjawab server di AS karena telah terpenuhi akses palsu sehingga macet. Distributed Denial of Service (DDoS) adalah mekanisme sensor dengan cara ‘memacu’ satu atau banyak komputer untuk terus-menerus melakukan ‘posting’ ke URL yang diinginkan sehingga lalu-lintas ke server menjadi macet dan tidak bisa memberikan informasi yang diinginkan ke pengguna.
Kasus seperti Tomaar semakin sering terjadi, khususnya terhadap para aktifis dan organisasi HAM. Media di Myanmar (Irrawaddy, Mizzima dan Democratic Voice of Burma) juga pernah mengalaminya; juga situs oposisi Belarusia, Charter97. Koran independen Russia, Nivaya Gazeta (tempat jurnalis Anna Politkovskaya yang tewas ditembak), koran Respublika milik oposisi Kazakhstan dan radio Free Europe juga mengalami hal yang sama. Bahkan blogger personalpun juga mengalami serangan yang sama. Di tahun 2009, saat ulang-tahun perang Rusia vs Georgia, sebuah blog popular di Georgia, Cyxymu, mengalami serangan DDoS. Demikian juga dengan Vietnam, dua blog penentang kebijakan pemerintah, Bauxite Vietnam dan Blogosin, menjadi target serangan DDoS dan akhirnya menghentikan kegiatannya sendiri dengan alasan ‘fokus pada urusan personal’. Akibat lebih buruk dengan DDoS adalah pengguna situs di negara demokrasipun, yang punya kebebasan akses internet, tetap tidak bisa melakukan akses ke situs yang terkena serangan DDoS.
Serangan DDoS jelas merupakan tindakan serius untuk memberangus kebebasan berekspresi dalam jaringan Internet, yang bahkan tidak hanya dikenakan terhadap situs suatu institusi tetapi juga terhadap situs individual, blog. Cyber-attack tidak hanya dilakukan oleh otoritas pemerintah, tapi bisa juga dilakukan oleh individu atau pendukung pemerintah. Pemblokiran pengguna untuk melakukan akses suatu situs (URL) masih menjadi cara utama untuk kontrol internet.
Pemerintah Russia mempunyai pendapat unik berkenaan dengan sikap oposan di dunia internet yaitu: sistem paling efektif untuk melakukan sensor adalah tanpa melakukannya sama sekali. Artinya, para pengguna internet diberikan kebebasan penuh untuk mengakses semua situs yang ada di internet. Bahkan masyarakat yang merasa tidak puas terhadap pemerintahan lokal, bisa mengadu ke blog Medvedev. Tapi apakah betul memang demikian kenyataannya? Tentu tidak, itu semua hanya etalase.
Russia.ru adalah salah satu institusi pemerintah Russia yang melakukan fungsi kontrol dunia maya. Situs pornografi bahkan diproduksi oleh Russia.ru untuk me’ninabobok’kan para potensial oposan. Hasil penelitian Morozov terhadap mesin pencarian di internet, ternyata pencarian paling popular yang dilakukan para pengguna internet di Russia bukanlah ‘apakah demokrasi itu?’, atau ‘bagaimana caranya melindungi Hak Azasi?’, tetapi ‘apakah cinta itu?’, atau ‘bagaimana menurunkan berat badan?’.
Pada bab terakhir, Morozov mengutip tulisan seorang ahli fisika AS, Alvin Weinberg, berjudul “Can technology replace social engineering?”, yang isinya kurang-lebih adalah masalah sosial yang rumit dapat dijelaskan dan direduksi menjadi masalah teknologi yang lebih sederhana, sehingga dapat diselesaikan menggunakan aplikasi ‘teknologi penyelesaian masalah’ (technological fixes). Yang dimaksudkan dengan aplikasi ini adalah teknologi modern yang mampu mengaburkan inti masalah sosial tanpa perlu merubah perilaku individu, atau mampu melakukan sedikit pergeseran asumsi masalah sosial sehingga memungkinkan dilakukan pemecahan masalahnya. Ini sangat berbeda dengan pendekatan para ahli rekayasa sosial (social engineers), dimana berusaha untuk selalu mempengaruhi perilaku sosial masyarakat melalui ‘kebijakan’, yang biasa disebut Weinberg sebagai ‘piranti sosial’ (social device), yaitu: pendidikan, regulasi dan perpaduan berbagai insentif perilaku sosial yang rumit.
Weinberg meyakini bahwa metoda rekayasa sosial terlalu mahal dan sangat berresiko. Sementara metoda penyelesaian masalah sosial dengan menggunakan ‘teknologi penyelesaian’ tidak banyak memerlukan perubahan perilaku sosial. Analogi penyelesaian masalah sosial dari dua metoda tersebuat adalah: Weinberg tidak akan melakukan sosialisasi pentingnya ‘tidak mengkonsumsi minuman beralkohol sebelum dan saat mengemudi’, melainkan memberikan obat penawar dampak minuman beralkohol. Weinberg telah dengan sengaja mengabaikan penyebab awal timbulnya masalah dan hal ini memang tidak dapat diselesaikan menggunakan ‘teknologi penyelesaian’. Teknologi hanya mampu melakukan mitigasi dampak sosial akibat suatu masalah sosial, yaitu dengan cara memberikan banyak masukan kepada ahli rekayasa sosial supaya mampu menghindari dampak sosial yang lebih berat, dan mengulur waktu sehingga mampu merubah kemungkinan terjadinya revolusi sosial, yang berdampak sosial tinggi, menjadi evolusi sosial.
Bentuk baru dari ‘teknologi penyelesaian masalah’ (technological fixes) saat ini adalah Google, yang sepertinya sudah menjadi obat penawar yang sangat manjur bagi segala kebutuhan. Apakah Google salah? Tentu tidak, tapi tawaran kemudahan untuk dapat menyelesaikan masalah sosial dengan cara mengesampingkan penyebab awal perlulah disikapi secara lebih hati-hati.
Akhirnya Morozov berkesimpulan bahwa terjadi kumulatif kesalahan yang berangkat dari asumsi yang salah (cyber-utopianism) dan bertindak terhadapnya dengan metodologi yang salah juga (internet centrism), bahkan dianggapnya sebagai mimpi semata.
Cyber-realist adalah alternatif dari Cyber-utopian dan internet-centris, yang lebih fokus pada optimasi ‘decision-making’ dan ‘learning process’, dengan harapan terjadi ‘check and balance’ terhadap birokrasi pemerintahan, yang dipadukan dengan insentif struktur yang tepat, akan mampu mengidentifikasi berbagai masalah sosial yang dalam dan rumit, tanpa terjebak dalam penyederhanaan masalah (technological fixes).
Hmm. Sepertinya buku yang bagus. Salah satu buku wajib dibeli pada 2013 ini. Thanks for the info mas.