Tara Westover

Suatu hari muncul di whatsap dari ponakan penggemar buku.
Dhilla, aku memanggilnya. Dia sangat rekomendasikan buku ini untuk dibaca. “Bill Gates pun mewawancarainya di youtube”, semangatnya mengingatkan. Ok, langsung berselancar di Google untuk mencari info tentang buku tersebut. Wooww … banyak selebriti dunia media seperti Oprah, Bill Gates, Ellen deGeneres, mewawancarainya terkait bukunya. Bahkan channel youtube dari media cetak dunia seperti Washington Post, CNN dan perguruan tinggi ternama juga melakukannya. Penghargaan juga banyak diterimanya, seperti :
- Nonfiction Book of the Year by the American Booksellers Association
- Finalist for the John Leonard Prize from the National Book Critics Circle Award
- Finalist for the Autobiography Award from the National Book Critics Circle Award
- One of the New York Times’ 10 Best Books of 2018
- Winner of the Goodreads Choice Award for Autobiography
- Alex Award from the American Library Association
- Audie Award for Autobiography/Memoir
- Audie Award for Best Female Narrator (because Julia is fab)
- Amazon Editors’ pick for Best Book of 2018
- Apple’s Best Memoir of the Year
- Audible’s Best Memoir of the Year
- Hudson Group Best Book of the Year
- President Barack Obama’s Favorite Books of the Year List
- Bill Gates’s Holiday Reading List
“Educated“, terbitan Random House, 2018. Sebuah buku memoir setebal 336 halaman dari seorang gadis lulusan doktoral Cambridge, Tara Westover, kelahiran Idaho AS, telah menghentak dunia. Menduduki posisi Best Seller di New York Times selama dua tahun, hingga Februari 2020, dan telah diterjemahkan dalam 45 bahasa. Kehidupan keras keluarga pedesaan penganut faham Mormon yang sangat taat ‘mengikat’, menjadi isu utama buku ini. Dan kegigihan Tara dalam menuntut ilmu hingga meraih gelar Doktor, tanpa dukungan orangtua, menjadi penyeimbang isu dalam memoir tersebut. Buku yang penuh dengan rasa traumatik, opresif, bipolar, kelam namun tidak cengeng, bahkan tegar inspiratif.
Memoir ini dibuka dengan cerita indah dan segarnya wilayah pegunungan Buck’s Peak, area tempat tinggal sekaligus tempat usaha keluarga Tara. Idaho, AS. Bisnis Gene, sang ayah, adalah mengelola bengkel besi bekas dan pendapatan Faye, sang ibu, dari jasa bidan yang membantu kelahiran anak, serta membuat jamu herbal. Selain bermain, tugas anak-anak, termasuk Tara, adalah bekerja membantu ayahnya melakukan pemilihan besi-besi bekas yang masih mungkin untuk diperdagangkan. Belajar di rumah setelahnya. Kerja keras melibatkan keluarga dibawah umur tanpa aturan-aturan pokok keselamatan kerja ini telah berkali-kali menyebabkan kecelakaan.Tyler, Luke, Tara dan terakhir Gene mengalami luka parah yang nyaris mematikan. Terbakar.
Minggu adalah hari gereja. Kehidupan sehari-hari berlangsung rutin, tanpa perubahan signifikan. Tak berkesan. “My strongest memory is not a memory. It’s something I imagined, then came to remember as if it had happened”. Tertulis sebagai kalimat pembuka pada Chapter 1.
Dengan pemahaman yang kuat terhadap ajaran Mormon, Gene (ayah) dan Faye (ibu) tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri. Namun mendidiknya sendiri di rumah (home schooling). Menurut Gene, sekolah negeri hanya akan menjauhkan murid dari perintah Tuhan. Berbeda dengan pendapat Tyler (kakak) dan neneknya, yang justru mengharapkan Tara untuk mengenyam pendidikan formal, “Grandma thought we should be in school and not, as she put it, “roaming the mountain like savages”. Gene mendidik keras keluarganya untuk tidak berhubungan dengan pelayanan publik, termasuk Rumah Sakit harus dihindari. Suatu saat Gene mengingatkan, “Doctors can’t help with them diabetes, but the Lord can!” Hingga mengenyam pendidikan tinggi, Tara belum pernah sekalipun vaksinasi. Juga tidak penah minum kopi, karena larangan gereja yang dianutnya.
Tara, lahir September 1986, adalah bungsu dari tujuh bersaudara. Berturut-turut dari anak tertua adalah Tony, Shawn, Tyler, Luke, Audry (perempuan), Richard dan Tara. Empat dari tujuh bersaudara termuda tersebut tidak mempunyai Akte Lahir, karena lahir di rumah. Tidak ada catatan medis, karena memang tidak pernah ke dokter atau Rumah Sakit. Usia 9 tahun, Tara baru mengurus Surat Lahirnya berdasar dokumen baptis di gereja. Gene berusaha sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengan pemerintah karena keyakinannya. Mormonism.

Faye sebetulnya tidak berkeinginan sebagai bidan, namun Genelah yang berkehendak. Dengan alasan kemandirian finansial dan untuk tidak bergantung pada pemerintah. Gene selalu berprasangka buruk terhadap hal yang berhubungan dengan Pemerintah. Illuminati. Termasuk urusan pendidikan dan kesehatan. Sikap tersebut ditunjukkan dalam dialog dengan ibunya, “Those doctors aren’t trying to save you,” katanya. “They’re trying to kill you”. Faye cukup berpenghasilan untuk membantu belanja kebutuhan rutin rumahtangga. Bahkan Gene sudah merencanakan sepenuhnya mandiri dengan membangun pipa air dari gunung dan memasang solar-cell untuk keperluan energinya. Ini semua dalam rangka mempersiapkan kondisi ‘Hari Akhir‘. Menurutnya.
Ketiga kakak tertua sudah meninggalkan rumah. Tony bekerja, Shawn kabur karena tak tahan dengan kesewenang-wenangan ayahnya dan Tyler kuliah. Sikap sinis sang ayah, Gene, terhadap para profesor ketika Tyler bermaksud kuliah, “There’s two kind of them college professors. Those who know they’re lying, and those who think they’re telling the truth”. Dia juga berpendapat “A man can’t make a living out of books and scraps of paper. You’re going to be the head of a family. How can you support a wife and children with books?”. Absurd.
Tony mulai mengajarnya membaca ketika Tara berusia 4 tahun. Buku-buku agama menjadi obyek bacaan sehari-hari setelah selesai bekerja. Tyler mengajarnya aljabar dan trigonometri untuk test kesetaraan SMU dan persiapan ke jenjang perguruan tinggi. Tara juga sempat bekerja pagi-sore sebagai babby-sitter dari Senin hingga Jumat. Dan dikenal mampu menyanyi dengan bagus karena sempat belajar atas inisiatif ibunya. Semangat untuk menempuh pendidikan formal muncul ketika neneknya (dari ayahnya) memaksanya untuk kabur bersamanya, demi sekolah. Faye, sang ibu, mendukungnya. Ketika Tara mencoba menyampaikan keinginannya untuk sekolah, jawab ayahnya adalah bahwa tempat perempuan itu di rumah dan belajar pengobatan herbal. “God’s pharmacy”, sebutnya. Suatu saat Tara berkata pada ibunya, “I’ve decided not to go to Birgham Young University (BYU),”. Sang ibu meyakinkannya dengan bergumam pelan, “Don’t say that. I don’t want to hear that”. “… Don’t you stay. Go. Don’t let anything stop you from going.”
Pada usia 16 tahun, Tara mengikuti test ACT (American College Testing) yang meliputi bahasa, membaca, matematika, dan sains, sebagai syarat untuk masuk BYU (Birgham Young University) dan universitas di Amerika pada umumnya. Dan berikut adalah paragraf yang menggembirakan bagi para pembaca, setelah disuguhi penuh getir kemuraman di separuh buku memoirnya, “I returned from the junkyard to find a white envelope. I tore it open, staining the page with grease, and looked past the individual scores to the composite. Twenty-two. My heart was beating loud, happy beats. It wasn’t a twenty-seven, but it opened up possibilities. Maybe Idaho State”. Berhak masuk universitas.
Tara tidak puas dan mengulang lagi ACT. Berhasil mendapatkan nilai 28. Diterima di BYU, Utah.
Kehidupan kota menyebabkan culture shock bagi Tara. Tujuhbelas tahun dalam kungkungan kehidupan Mormon yang ketat, membuatnya kaget melihat banyak aktifitas di hari Minggu, cara berpakaian dan pilihan menu makanan teman-temannya. Banyak hal masuk dalam ketegori ‘sesat’ dan tidak sesuai dengan keyakinan Mormon, seperti yang diajarkan ayahnya, Gene. Kompromi dilakukannya.

Di perkuliahan pun Tara banyak tertinggal dengan isu-isu global, yang seharusnya sudah pernah didengar sebagai pengetahuan umum. Seperti Holocaust, gerakan hak-hak sipil di Amerika, Martin Luther King, dll. Namun dengan usaha yang lebih keras, Tara mampu memperoleh Beasiswa berupa potongan 50% biaya kuliah, karena mendapat nilai ujian yang memuaskan.
Liburan semester digunakan Tara untuk pulang ke Buck’s Peak. Kembali ceria bekerja di Stokes, toko keperluan rumahtangga. Namun tak kuasa menolak permintaan orangtuanya untuk kembali bekerja di junkyard. “You have an opportunity to help your father,” Faye said. “He needs you. He’ll never say it but he does. It’s your choice what to do.” There was silence, then she added, “But if you don’t help, you can’t stay here. You’ll have to live somewhere else”. Tara bekerja untuk Ayahnya, lagi.
Bullying bahkan tindakan fisik semena-mena oleh Shawn (kakaknya) setiap kali pulang ke Buck’s Peak, yang selama ini dianggapnya hanya sebagai canda, mulai menyadarkannya. Misalnya, panggilan Niger berulang kali terhadapnya, bahkan menyebutnya “whore“, menyakitinya serta menyiksanya secara fisik. Memang dimaksudkan sebagai pelecehan. Perilaku sakit.
His expression is unforgettable: not anger or rage. There is no fury in it. Only pleasure, unperturbed. Then a part of me understands, even as I begin to argue against it, that my humiliation was the cause of that pleasure. It was not an accident or side effect. It was the objective.
There was one point when he was forcing me from the car, that he had both hands pinned above my head and my shirt rose up. I asked him to let me fix it but it was like he couldn’t hear me. He just stared at it like a great big jerk. It’s a good thing I’m as small as I am. If I was larger, at that moment, I would have torn him apart.
Ketakutannya untuk tidak lagi memperoleh beasiswa karena kesulitannya dalam memahami Aljabar, tidak terbukti. Dengan ketekunannya, Tara berhasil mendapatkan nilai A untuk Aljabar. Dan mendapatkan dana pemerintah sebagai mahasiswa ‘tidak mampu’. Kontrak apartemen terbayarkan.
Terminologi bipolar, paranoia, schizophrenia dan kelainan mental lainnya, Tara dapatkan di kuliah psikologi. Dari kuliah ini, Tara mengindikasikan Gene, ayahnya, menderita kelainan mental.
Menurutnya, ada dua risiko bagi anak-anak berorangtua Bipolar yaitu, akan menurun secara genetis dan kehidupan keluarga yang tidak nyaman atau depresif. Sering kecelakaan terjadi di tempat kerja ‘junk yard‘ akibat kelainan mental Gene yang lebih mengutamakan ‘keyakinan’ dan egonya, tanpa memperdulikan protokol keselamatan kerja. Keluarga telah berkali-kali menanggung resikonya.
Setelah 19 tahun hidup dengan tuntunan Gene yang otoriter, akhirnya Tara memutuskan untuk berhenti dan tidak pulang ke rumah selama liburan semester. Mencoba hidup ‘normal’ dan fokus di kuliah. Dari Jurusan Sejarah BYU, Tara menerima penghargaan “the most outstanding undergraduate”. Tanpa kehadiran orangtuanya.
Tara merasakan bahwa pendidikan mampu menghasilkan perspektif berpikir sendiri dalam ‘melihat’ dunia, sehingga tidak bergantung pada perspektif pihak lain. Seperti yang dirasakan selama ini di Peak’s Buck. Masuk Cambridge, Inggris. Tara adalah siswa ketiga dalam sejarah BYU yang memperoleh beasiswa The Gates Scholersip (TGE), Cambridge.
Isaiah Berlin’s two concepts of liberty, menjadik topik kuliah pertama yang belum pernah Tara ketahui. Dosennya mengajarkan,

- “Negative liberty, is the freedom from external obstacles or constraints. An individual is free in this sense if they are not physically prevented from taking action.”
- “Positive liberty, is freedom from internal constraints.”
Positive liberty is self-mastery—the rule of the self, by the self. To have positive liberty, he explained, is to take control of one’s own mind; to be liberated from irrational fears and beliefs, from addictions, superstitions and all other forms of self coercion. Tara memahaminya, None but ourselves can free our minds. Vaksinasi dilakukannya.
Perkawanan di Cambridge membuatnya nyaman, ada rasa kekeluargaan antar sesamanya, sangat berbeda dengan situasi di Buck’s Peak. Bahkan berlawanan. Serasa mengkhianati keluarganya. Bahagia, tak ingin pulang. Tapi … tetap pulang. Perlakuan hinaan mental dan fisik tetap diperoleh dari kakaknya, Shawn. Terhadap Erin, bekas pacar Shawn sendiri, penyiksaan fisik juga dilakukannya. Menyebutnya pelacur, mencekik, bahkan membenturkan kepala ke dinding. Ketidak-percayaan terhadap Tara, tetap ada pada ayahnya, Gene. Semua pengaduan Tara tentang sikap Shawn terhadapnya, tidak dipercaya Gene. Faye, sang ibu, bersikap ganda. Mendukung Tara, namun selalu menyerah terhadap kata Gene.
I stared at the reflection. The mirror was mesmeric, with its triple panels trimmed with false oak. It was the same mirror I’d gazed into as a child, then as a girl, then as a youth, half woman, half girl. Behind me was the same toilet Shawn had put my head in, holding me there until I confessed I was a whore. Tara merasa terbelah kepribadiannya.. Kesempatan kuliah pendek di Harvard cukup membahagiakannya.
“I am called of God to testify that disaster lies ahead of you,” Dad said. “It is coming soon, very soon, and it will break you, break you utterly. It will knock you down into the depths of humility. And when you are there, when you are lying broken, you will call on the Divine Father for mercy.” Dad’s voice, which had risen to fever pitch, now fell to a murmur. “And He will not hear you”. Gene masih berusaha menarik Tara dari universitas, kembali pulang bekerja di Bucks Peak. Ketika berkunjung ke Harvard. Tara menolak.
Satu kalimat singkat yang ditulisnya ini bisa jadi gambaran utama tentang ayahnya, Gene, “I am not the child my father raised, but he is the father who raised her”.
Usia 27 tahun (2014) Tara memperoleh gelar Doctor dari Trinity Colledge, Cambridge dengan disertasi berjudul “The Family, Morality, and Social Science in Anglo-American Cooperative Thought, 1813–1890″. Luar biasa. Dalam situasi kejiwaan yang demikian rumit, menekan, Tara mampu menyelesaikan pendidikan tinggi yang membebaskan.
Apakah Tara akan pulang dan berdamai dengan ayah (Gene) dan kakaknga (Shawn)? Silahkan membaca Educated, kemudian menikmati video2 tentangnya di Youtube.
TARA WESTOVER was born in Idaho in 1986. She received her BA from Brigham Young University in 2008 and was subsequently awarded a Gates Cambridge Scholarship. She earned an MPhil from Trinity College, Cambridge, in 2009, and in 2010 was a visiting fellow at Harvard University. She returned to Cambridge, where she was awarded a PhD in history in 2014. Educated is her first book.
Tautan:
Tinggalkan Balasan