Beberapa hari ini layar tv nasional diwarnai berita tentang dua perempuan cantik yang diduga melakukan kejahatan keuangan, SY., perempuan muda yang dicitrakan media televisi berparas cantik, berperilaku ramah dan mudah bergaul ini ternyata masuk dalam DPO polisi karena diduga banyak melakukan penipuan melalui dunia maya bermotif uang. Sementara MD, bagian dari jajaran puncak pimpinan bank asing yang juga berparas cantik, berkesan glamour, cenderung artifisial, dengan gambar-gambarnya yang banyak beredar di internet, berlatar belakang mobil mewah ini, diduga melakukan penggelapan uang miliaran rupiah. Jalan pintas, adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan respon yang sama kedua perempuan itu, dalam memenuhi mimpi hiperealitasnya secara cepat.
Fenomena ini menunjukkan bahwa serbuan globalisasi sebagai tangan panjang kapitalisme telah jauh masuk kedalam gaya hidup, budaya bangsa kita. Apakah ini tanda awal ‘kematian sosial’ (YA Piliang)?
Globalisasi ekonomi, informasi dan budaya memang sudah menusuk dalam hingga ke tengah hutan dan puncak pegunungan negeri ini. Lihatlah, dvd film asing, saluran tv luar negeri dan handphone versi terbarupun sudah banyak beredar di berbagai lokasi terpencil sekalipun. Tentu ini menggembirakan karena bisa jadi ukuran kemajuan sadar-informasi masyarakat, namun semestinya linear dengan kemajuan kemampuan rasional dalam menentukan kebutuhannya, bukan hanya terkooptasi oleh iklan sebagai kepanjangan tangan kapitalisme semata. Mini-market ternama dari waralaba nasionalpun sudah merebak keberbagai sudut kota kecil bahkan kota terpencil dalam hutan Papua.
Di kota-kota besar, dengan motif ekonomi, pusat-pusat perbelanjaan berlomba-lomba melakukan bujuk-rayu berwajah indah namun semu, menyajikan kenyamanan penuh ilusi sebagai tempat mencari nilai-nilai, membangun citra diri, unjuk eksistensi diri, mencari hiburan, dan untuk kepentingan pengusaha dalam menciptakan kebutuhan konsumen atas nama kemajuan, bukan lagi sekedar tempat transaksi barang dan jasa, namun telah mempunyai peran sentral sebagai citra cermin (mirror image) sebuah masyarakat.
Di era artifisial, komunitas sosial telah bergeser menjadi komunitas dunia-maya (cyber-society) tanpa teritori yang nyata, yang tentu saja mempengaruhi kehidupan sosial di luar ruang tersebut. Dalam ruang maya, anggota komunitas bisa memilih identitas dirinya dalam wujud yang berbeda dari kesehariannya, bergantung motif yang ingin ditampilkannya, yang berujung kekacauan identitas. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi dalam komunitas seperti ini, ilusi yang berpotensi kekecewaan setelah realitas mengemuka, penipuan.
Untuk mengejar kehidupan superstar penuh ilusi ini, dalam tataran fisik individual, tubuh manusia telah menjadi alat produksi, promosi dan konsumsi kapitalisme. Begitu pentingnya peran tubuh ini, sehingga individu yang telah teperangkap dalam ilusi tersebut merasa perlu untuk melakukan ‘penyempurnaan’ tubuh melalui operasi plastik, keindahan artifisial.
Lengkaplah sudah kekacauan budaya globalisasi ini, dan dalam kondisi budaya di tengah lorong ilusi menuju ‘kematian sosial’ seperti inilah kedua perempuan tersebut terperangkap, persepsi tehadap fakta sosial yang penuh dengan ilusi telah menutupi realitas sosial yang ada.
Mengingat resiko kematian sosial yang tanda-tandanya mulai tampak akibat globalisasi dalam berbagai bentuknya seperti tersebut di atas, perlu para pemangku kebijakan memikirkan strategi kebudayaan dan kebijakan ekonomi yang nyata untuk menyelamatkannya, berbasis pada kearifan budaya lokal tentunya.
Tinggalkan Balasan