Selama satu minggu ini aku selalu melihatnya jalan pelan di jalan tanah seberang depan kamarku. Sambil ‘mbondo’ tangan (Jw, memegang salah satu tangan dari belakang tubuhnya) dan beberapa kali berhenti, dia ‘celingukan’ ke arah depan deretan kamarku, seperti khawatir diawasi orang. Dia berbadan gempal hitam, bercelana pendek, berkemeja lusuh biru muda dan bersepatu boot karet, usianya kira-kira 30 tahunan dan beberapa gelang karet hitam terlihat di tangannya. Sebut saja Edu namanya.
Suatu sore dia lewat bersama perempuan gempal seumurnya dengan ‘noken’ (kantong jaring, di belakang badannya dan disangkutkan di kepala) tergantung di kepalanya dan tanpa alas kaki, berhenti dan menghadap kamarku sambil ngobrol dengan bahasa ibunya yang gak aku ngerti artinya. Bingung aku berprasangka … apa yang ada dalam nokennya? apa yang akan mereka lakukan di depan kamarku ??
Kamarku berada dalam satu bangunan berlantai empat yang menghadap lereng gunung yang curam. Jalan mobil diseberang bangunan mempunyai ketinggian yang sama dengan kamarku, lantai 3. Kaki lereng jalan itu tepat berada di depan lantai satu, dua lantai di bawah kamarku dan dibatasi oleh dinding beton setinggi enam meter untuk mencegah longsor.
Sore kemarin dari celah pintu yang sengaja kubuka sedikit, kulihat Edu berdiri tepat di jalan dan menghadap langsung ke kamarku dengan parang di tangan. Tetap bercelana pendek dan bersepatu boot. Aku yakin, dia tidak akan mendatangiku, karena cukup sulit untuk turun dari dinding beton setinggi enam meter itu. Gak lama dia berdiri diam di situ, lalu pergi … Apa yang telah aku lakukan?
Sore ini kubuka sedikit gorden jendelaku dan hah .. Edu memegang parang, tetap dengan sepatu boot hijaunya tapi kali ini bercelana panjang, berdiri memunggungiku di atas pagar beton, seberang kamarku. Lalu dia jongkok dengan parang di tangan, … dan mulai membersihkan rumput liar yang tumbuh di lereng terjal bawah jalan itu. Dia sedang menyiapkan lahan miring tak terurus seluas 3×3 m untuk ditanami Keladi. Heemm .. Aku keluar kamar, sedikit senyum dan teriak ” adik .. hati-hati, kau bisa jatuh..”. Dia menoleh “aman kakak..”, jawabnya dengan senyum dan memberiku jempolnya.
berkebun di 3 x 3…
Hanya utk merawat tanaman seluas kamarku, mereka perlu berjalan kaki dari tempat tinggalnya naik-turun bukit, berjam-jam..